Ikut melepas kepergian penyair besar WS Rendra tergerak saya untuk membuka kumpulan puisinya yang terangkum dalam "Potret Pembangunan dalam Puisi" yang diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, 1980. Sesuai judulnya, ini adalah kumpulan puisi Rendra yang paling eksplisit bicara (mengritik) praktek kepemerintahan dalam proses pembangunan.
Misi perjuangan Rendra menurut Prof. A. Teeuw, ahli tentang sastra Indonesia dari Belanda, adalah tegaknya identitas diri manusia Indonesia, dalam kancah arus perubahan yang dibawa oleh ideologi dan gerak pembangunan, pertarungan kapitalis vs komunis, kebobrokan penguasa, sistem pendidikan "membeo" yang mematikan cipta, rasa dan karsa, dan sejenisnya. Juga keberpihakannya kepada mereka yang terpinggirkan, tersuruk dan terpuruk dalam proses pembangunan.
“Potret Pembangunan dalam Puisi” ini memuat 24 sajak yang ditulis pada pertengahan dekade 1970an, saat Orde Baru pada puncak kejayaannya. Berkah bonanza minyak bumi sangat terasa melimpah, banyak sarana dibangun di kota-kota besar, berbagai prasarana fisik wilayah juga dibangun. Sebagian kelompok yang menikmati proses pembangunan itu, pejabat dan keluarganya, para kontraktor dan rekanan mendadak kaya raya. Hidup mereka bermewahan secara mencolok dan norak, sementara itu sebagian yang lain justru tertinggal, tergusur dan terpinggirkan. Terjadi penurunan kualitas pendidikan "manusia seutuhnya" dengan cipta rasa dan karsa sesuai kebutuhan linkungannya, digantikan pendidikan yang mengajar anak didik "membeo, menghapal", mencetak tukang atau kuli pesanan pembangunan semata.
Secara emosional saya seikit-banyak terbawa oleh sajak-sajak ini, karena kurun Rendra menulisnya, adalah masa saya kuliah, pada pertengahan 1970an. Sebagian saya saksikan langsung pembacaannya, termasuk ketemu langsung dengan beliau. Salah satu sajak yang saya hafal adalah "Sajak Seonggok Jagung" (1975), saya saksikan bagaimana Sang Burung Merak membacakannya di Aula Barat ITB. Saya kutip sebagian:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
...................
Tetapi ini:
Seonggok jagung dikamar
dan seorang pemuda tammat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
......
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Efek sampingan dari pembangunan, yang membuat kelompok tertentu (majikan) makmur berlebihan, hedonis, sementara yang lain jadi korban, bisa dirasakan pada "Sajak Gadis dan Majikan":
Janganlah tuan seenaknya memelukku. Kemana arahnya, sudah cukup aku tahu. Aku bukan ahli dalam menduga, tetapi jelas sudah ku tahu pelukan ini apa artinya ...
Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, kerapian, dan tata cara.
Tetapi lupa diajarkan: kalau dipeluk majikan dari belakang, lalu sikapku bagaimana! ...
Menanggapi pembangunan sektor pariwisata, khususnya di pulau Bali yang dinilai ower exploitative terhadap budaya, ekonomi lokal dan lingkungan hidup, Rendra menulis "Sajak Pulau Bali" (1977), secara dramatis dibacanya di tengah suasana demonstrasi mahasiswa di Lapangan Basket ITB kala itu, sebagian kutipannya:
..........
Dan sementara kita bengong,
pesawat terbang jet yang muncul dari mimpi,
membawa bentuk kekuatan modalnya: lapangan terbang,
"hotel-bistik-dan-coca cola," jalan raya, dan para pelancong.
"Oh, look, honey - dear! Lihat orang-orang pribumi itu!
Mereka memanjat kelapa seperti kera.
Fantastic! Kita harus memotretnya!.....
Dan kemajuan kita adalah kemajuan budak
atau kemajuan penyalur dan pemakai.
Maka di Bali hotel-hotel pribumi bangkrut ........
Pada sajak "Orang-orang Miskin" (1978) Rendra mengingatkan bahwa siapapun di negeri ini tidak bisa mengingkari adanya kemiskinan yang jumlahnya banyak.
........................
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan t.b.c. dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
...........
Setelah beberapa tahun bersama para mahasiswa berdemonstrasi, berstrategi mengritik pemerintah dan proses pembangunannya, barangkali Rendra lalu menyaksikan bahwa banyak kawan seperjuangannya (mahasiswa) sebagian lulus sekolah dan menjadi bagian dari kekuasaan yang dikritiknya dulu. Maka "Sajak Kenalan Lamamu" (1977) menohok tajam:
...................
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakar mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
......................
Politik adalah cara merampok dunia.
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi,
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter!
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
...........................
Entah apakah sejarah selalu berulang, atau persoalan lama tak kunjung selesai, tapi ternyata apa yang diteriakkan Rendra pertengahan 70an itu masih terjadi, atau berulang lagi tiga puluh tahun setelah itu ditulis. Kita menyaksikan bagaimana kebijakan pembangunan, bukannya sudah terbang tinggal landas seperti impiah lama. Tetapi masih berkutat dengan soal kemiskinan yang masih 40 jutaan. Ideologi ekonomi harus kembali lagi kepada "kerakyatan", kata tabu semasa Orde Baru. Tak bisa ditolak, karena kemiskinan telah "menempel di kaca rumah, di gorden presidenan" kata sang penyair.
Rendra diakhir hayatnya masih menyaksikan betapa politik adalah "cara merampok", "festival kesenian", atau "pekan olah raga" yang menghamburkan uang rakyat sekedar untuk menaikkan standar hidup para politikus. Apa yang ditulis tahun 1977 masih terjadi di "pesta" Pemilu tahun 2009. Sungguh benar, sungguh tragis.
Untuk mengantarkan Sang Burung Merak berpulang ke rahmatullah, barangkali potongan "Sajak Peperangan Abimanyu" (1977) ini layak direnungkan:
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru,
Sang ksatia berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewajiban dan kewajarannya.
Setelah ia wafat -
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
.............................
Inna lillahi wa inailaihi rojiun. Semuanya dari Allah yang Maha Kuasa dan akan kembali kepadaNya.
Selamat jalan Mas Willy, semoga semua amal kebaikanmu diterima Allah swt, dan segala dosa dan khilaf diampuni-Nya. (rm)
[Risfan Munir, Local Economic Governance & Management Specialist, Research Triangle Institute (RTI), email: risfano@yahoo.com]
Misi perjuangan Rendra menurut Prof. A. Teeuw, ahli tentang sastra Indonesia dari Belanda, adalah tegaknya identitas diri manusia Indonesia, dalam kancah arus perubahan yang dibawa oleh ideologi dan gerak pembangunan, pertarungan kapitalis vs komunis, kebobrokan penguasa, sistem pendidikan "membeo" yang mematikan cipta, rasa dan karsa, dan sejenisnya. Juga keberpihakannya kepada mereka yang terpinggirkan, tersuruk dan terpuruk dalam proses pembangunan.
“Potret Pembangunan dalam Puisi” ini memuat 24 sajak yang ditulis pada pertengahan dekade 1970an, saat Orde Baru pada puncak kejayaannya. Berkah bonanza minyak bumi sangat terasa melimpah, banyak sarana dibangun di kota-kota besar, berbagai prasarana fisik wilayah juga dibangun. Sebagian kelompok yang menikmati proses pembangunan itu, pejabat dan keluarganya, para kontraktor dan rekanan mendadak kaya raya. Hidup mereka bermewahan secara mencolok dan norak, sementara itu sebagian yang lain justru tertinggal, tergusur dan terpinggirkan. Terjadi penurunan kualitas pendidikan "manusia seutuhnya" dengan cipta rasa dan karsa sesuai kebutuhan linkungannya, digantikan pendidikan yang mengajar anak didik "membeo, menghapal", mencetak tukang atau kuli pesanan pembangunan semata.
Secara emosional saya seikit-banyak terbawa oleh sajak-sajak ini, karena kurun Rendra menulisnya, adalah masa saya kuliah, pada pertengahan 1970an. Sebagian saya saksikan langsung pembacaannya, termasuk ketemu langsung dengan beliau. Salah satu sajak yang saya hafal adalah "Sajak Seonggok Jagung" (1975), saya saksikan bagaimana Sang Burung Merak membacakannya di Aula Barat ITB. Saya kutip sebagian:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
...................
Tetapi ini:
Seonggok jagung dikamar
dan seorang pemuda tammat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
......
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Efek sampingan dari pembangunan, yang membuat kelompok tertentu (majikan) makmur berlebihan, hedonis, sementara yang lain jadi korban, bisa dirasakan pada "Sajak Gadis dan Majikan":
Janganlah tuan seenaknya memelukku. Kemana arahnya, sudah cukup aku tahu. Aku bukan ahli dalam menduga, tetapi jelas sudah ku tahu pelukan ini apa artinya ...
Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, kerapian, dan tata cara.
Tetapi lupa diajarkan: kalau dipeluk majikan dari belakang, lalu sikapku bagaimana! ...
Menanggapi pembangunan sektor pariwisata, khususnya di pulau Bali yang dinilai ower exploitative terhadap budaya, ekonomi lokal dan lingkungan hidup, Rendra menulis "Sajak Pulau Bali" (1977), secara dramatis dibacanya di tengah suasana demonstrasi mahasiswa di Lapangan Basket ITB kala itu, sebagian kutipannya:
..........
Dan sementara kita bengong,
pesawat terbang jet yang muncul dari mimpi,
membawa bentuk kekuatan modalnya: lapangan terbang,
"hotel-bistik-dan-coca cola," jalan raya, dan para pelancong.
"Oh, look, honey - dear! Lihat orang-orang pribumi itu!
Mereka memanjat kelapa seperti kera.
Fantastic! Kita harus memotretnya!.....
Dan kemajuan kita adalah kemajuan budak
atau kemajuan penyalur dan pemakai.
Maka di Bali hotel-hotel pribumi bangkrut ........
Pada sajak "Orang-orang Miskin" (1978) Rendra mengingatkan bahwa siapapun di negeri ini tidak bisa mengingkari adanya kemiskinan yang jumlahnya banyak.
........................
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan t.b.c. dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
...........
Setelah beberapa tahun bersama para mahasiswa berdemonstrasi, berstrategi mengritik pemerintah dan proses pembangunannya, barangkali Rendra lalu menyaksikan bahwa banyak kawan seperjuangannya (mahasiswa) sebagian lulus sekolah dan menjadi bagian dari kekuasaan yang dikritiknya dulu. Maka "Sajak Kenalan Lamamu" (1977) menohok tajam:
...................
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakar mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
......................
Politik adalah cara merampok dunia.
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi,
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter!
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
...........................
Entah apakah sejarah selalu berulang, atau persoalan lama tak kunjung selesai, tapi ternyata apa yang diteriakkan Rendra pertengahan 70an itu masih terjadi, atau berulang lagi tiga puluh tahun setelah itu ditulis. Kita menyaksikan bagaimana kebijakan pembangunan, bukannya sudah terbang tinggal landas seperti impiah lama. Tetapi masih berkutat dengan soal kemiskinan yang masih 40 jutaan. Ideologi ekonomi harus kembali lagi kepada "kerakyatan", kata tabu semasa Orde Baru. Tak bisa ditolak, karena kemiskinan telah "menempel di kaca rumah, di gorden presidenan" kata sang penyair.
Rendra diakhir hayatnya masih menyaksikan betapa politik adalah "cara merampok", "festival kesenian", atau "pekan olah raga" yang menghamburkan uang rakyat sekedar untuk menaikkan standar hidup para politikus. Apa yang ditulis tahun 1977 masih terjadi di "pesta" Pemilu tahun 2009. Sungguh benar, sungguh tragis.
Untuk mengantarkan Sang Burung Merak berpulang ke rahmatullah, barangkali potongan "Sajak Peperangan Abimanyu" (1977) ini layak direnungkan:
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru,
Sang ksatia berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewajiban dan kewajarannya.
Setelah ia wafat -
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
.............................
Inna lillahi wa inailaihi rojiun. Semuanya dari Allah yang Maha Kuasa dan akan kembali kepadaNya.
Selamat jalan Mas Willy, semoga semua amal kebaikanmu diterima Allah swt, dan segala dosa dan khilaf diampuni-Nya. (rm)
[Risfan Munir, Local Economic Governance & Management Specialist, Research Triangle Institute (RTI), email: risfano@yahoo.com]