Citra organisasi adalah akumulasi dari berbagai asosiasi, selain itu pengukurannya melibatkan banyak pemangku kepentingan (
stakeholder). Oleh karenanya tak mengherankan kalau peningkatan citra organisasi ini membutuhkan komitmen yang besar dan berjangka-panjang.
Sebagai ilustrasi, penilaian atas perusahaan bisnis yang dilakukan oleh Businessweek versi Indonesia (18 Juni 2009), setidaknya melibatkan beberapa dimensi yang diukur.
Dimensi
performance – rangkuman atribut kinerja internal sesuai standar kinerja yang ditetapkan. Dimensi
quality – merupakan rangkuman dari berbagai atribut kualitas produk, inovasi, kepedulian terhadap pelanggan. Dimensi
responsibility – merupakan atribut tanggung-jawab sosial dan kepedulian terhadap lingkungan.
Adanya indikator tersebut meunjukkan bahwa citra organisasi adalah hal yang dapat diukur, dan bersifat dinamis, bisa naik/turun sepanjang waktu. Tiap organisasi atau lembaga perlu memahami apa yang menjadi KEBUTUHAN dari para pemangku kepentingan. Dan, organisasi harus merumuskan strategi dan mendesain berbagai program untuk meningkatkan citra organisasi.
Selanjutnya, citra organisasi adalah hasil multi-interaksi, dalam bentuk iklan (advertorial, inforial), kontak langsung, atau kabar dari mulut ke mulut, situs web, pengalaman pengguna jasa/konsumen dan bentuk komunikasi lainnya.
Hal penting lainnya, citra organisasi adalah tanggung jawab seluruh jajaran organisasi tersebut, mulai dari pimpinan puncak hingga staf terbawah. Siapakah yang sanggup mengahadapi para pemangku kepentingan, masyarakat? Tentu semua staf dan mitra yang terlibat. Dan, walaupun organisasi menggunakan jasa public relation (PR), tugas mereka lebih banyak di lini depan yang komunikasikan visi, misi, program, kegiatan dan prestasi-prestasi organisasi, menanggapi pertanyaan dan isyu tertentu, tapi citra lembaga dalam jangka panjang ditentukan oleh kinerja dan perilaku seluruh staf dan mitra.
Jelaslah bahwa di tingkat perusahaan atau organisasi saja pengembangan citra perlu menjadi bagian dari strategi utama, apalagi yang menyakut pelayanan publik.
Maka untuk menngkatkan citra organisasi penataan ruang, setiap pimpinan, staf, unit-unit maupun lembaga-lembaga mitra yang terlibat harus ikut ber tanggung-jawab. Jadi bukan sekedar divisi humas, profesional PR yang disewa, atau jusnalis yang diajak berkiprah. Mereka semua bisa membantu banyak, kalau insan tata ruang sendiri juga antusias menunjukkan kontribusinya dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Tantangannya adalah, urusan penataan ruang ini terpisah-pisah antara instansi Perencana, instansi dan masyarakat Pemanfaat rencana, dan instansi Pengendali (monitoring, evaluasi, penindakan) nya. [Risfan Munir]