Mereka yang buka usaha harus punya tempat (resmi), milik sendiri atau sewa. Benarkah demikian?
Ada jutaan warga tidak punya rumah. Mereka menumpang di sana-sini. Ada jutaan warga yang bukan karyawan. Mereka berusaha membuka usaha mikro ala kadarnya. Boro-boro sewa tempat, modal kerja saja harian, atau jual jasa saja.
Apakah negara ini akan terus melarang dan memburu mereka? Padahal jumlah mereka jutaan, juga jasa dan produknya dikonsumsi, alias dibutuhkan?
Karena mereka tidak mampu beli/sewa ruang, jadi mereka (nekad) memanfaatkan ruang-ruang "publik" sebagai tempat usaha. Padahal "ruang publik" itu menurut rencana tata ruang memang untuk publik (dikosongkan). Maka kehadiran pedagang atau penghuni itu dianggap "liar".
Fenomena ini dipertajam dengan kenyataan bahwa bagi pengusaha informal itu juga berlaku teori lokasi. Artinya dagangan atau jasanya memerlukan lokasi strategis untuk menarik pembeli/ pelanggan. Maka yang terjadi adalah struggle, dan persaingan dalam memperebutkan lokasi strategis itu. Yang repotnya, itu di perempatan, di sekitar pusat perbelanjaan, perkantoran yang ramai, padat lalu lintas. Atau di taman yang harusnya jadi unsur keindahan kota.
Dalam menangani fenomena ini, barangkali yang pertama-tama dilakukan ialah menyadari bahwa kehadiran mereka tak dapat dihindari. Kota akan ramai, tapi memang realita negara kita punya jutaan warga yang tak bisa beli/sewa tempat formal. Dan, negara juga tidak bisa menyerap mereka sebagai karyawan swasta atau PNS. Pemerintah selalu berharap kalau economic growth naik sekian persen, akan menyerap sekian ribu pekerja. Tapi kenyataan 64 tahun merdeka backlog masih besar. Mungkin 36 tahun lagi juga belum tentu ngejar. Jadi itu realita kota-kota kita, kan rencana mesti berbasis fakta juga.
Tata ruang di negara seperti Indonesia, apakah memang disusun hanya untuk mereka yang mampu menyewa atau punya lahan/ruang.
Pada umumnya Pemkot (masalahnya kebanyakan di kota ya) bersikap mendua. Maunya melarang, tapi bagaimana wong jumlah usaha informal itu begitu besar. Di usir sebentar juga datang lagi. Mau ngasih tempat, juga kalau ada cuma di pinggiran kota yang sepi. Para usahawan mikro akan berdatangan lagi ke tempat ramai. Maka yang terjadi ialah "perang gerilya". Diusir, digusur, lalu didiamkan, lalu diusir lagi. Mungkin karena gejala ini, di banyak tempat mereka "dibolehkan" tapi harus "beroda" supaya mobile. Sewaktu-waktu, karena sebab tertentu, bisa diminta pergi. Atau ini strategi si pengusaha informal itu sendiri untuk seolah temporer. Jadi seperti "tidak menempati ruang" secara tetap.
Masalahnya sebetulnya adalah dampak "gangguan" yang ditimbulkan. Apakah itu kemacetan, kebersihan, keamanan, keindahan, dst. Bagaimana mengurangi risiko "gangguan" ini? Jadi kalau toh tak mungkin menolak kehadirannya, setidaknya mengurangi risiko "gangguannya."
Dari kota ke kota, sebetulnya sudah banyak "kiat dan strategi" yang diterapkan. Mulai dari yang betul-betul memindahkan dan memberi tempat yang dari segi bisnis. Yang meminta pusat perdagangan modern memberi tempat. Yang memindahkan ke pinggir kota yang sepi (ini banyak gagalnya). Yang menertibkan (bukan mengusir) dengan menyeragamkan gerobaknya. Yang menerapkan "time share" yaitu boleh pada jam tertentu di zona atau jalan tertentu.
Itu dari segi penanganan fisiknya. Sedang dari segi kelembagaan dan pendekatan sebagai kelompok usaha yang perlu difasilitasi juga ada bervariasi pendekatan. Dari yang berupaya memberdayakan atau "memanusiakan" mereka, mendekati lewat kelompok, hingga yang main mengandal kan pasukan tibum saja.
Pendekatan penataan ruang sementara ini bersifat rigid, kaku. Membuat rencana lalu mencoba menegakkan lewat mekanisme perijinan, atau pembangunan prasarana. Mungkin perlu ditambah pendekatan yang lebih "dinamis" atau pendekatan "manajemen ruang" (spatial management). Terutama flexibilitas dalam mengelola "ruang-ruang publik" untuk memberi peluang kepada "pengusaha" sektor informal dengan sistem ala "time share."
Melakukan pendekatan kelompok (community development) untuk memberdayakan usahanya, agar kalau nasib baik berubah jadi "formal." Menyediakan ruang atau membangun tempat di pinggiran kota bisa dilakukan asal dalam kelompok, sehingga bisa dicapai economic of scale untuk menarik pengunjung ke situ.
Klasifikasi atau tipologi dari pengusaha informal di satu kota perlu dilakukan. Serta bagaimana pola relasinya atas ruang. Ada pedagang bunga, tukang sayur, tukang baso, tukang sate, tukang loak barang bekas, penambal ban, dst. Ada yang menetap, ada yang keliling, ada yang musiman, ada yang jam-jaman.
Pola relasi di antara mereka. Ada yang betul-betul mandiri, ada yang berkelompok berdasarkan lokasi usaha, daerah asal, dst. Ini akan menentukan pola pemberdayaannya.
Soal pembinaan atau pemberdayaan sektor informal perkotaan ini selalu dilematis. Mengundang kontroversi. "Pelanggar aturan" kok dibantu. Tapi kalau pengelola kota, penata ruang melihat statistik tenaga kerja nasional, sejarnya dari masa ke masa. Nampaknya itulah corak realita urban area di Indonesia, disuka atau tidak.
Meminjam kata M Yunus, founder Grameen Bank, "mereka bukan miskin, hanya punya sedikit."
Sekali lagi, kalau urban planner atau regional planner bilang "urbanisasi", dalam situasi deindustrialisasi, maka itu berarti "pseudo-urbanization" alias membengkaknya jumlah sektor informal. [Risfan Munir]
Wednesday, February 11, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment