Pilihan Papua pada "people driven development strategy" (seperti disampaikan Nuzul Achjar) merupakan suatu kewajaran. Setelah bertahun-tahun "corporate driven" yang diandalkan pemerintah ternyata "lokomotif"nya maju sendiri, sementara sebagian besar "gerbong"nya atau masyarakatnya tertinggal. Yang ini sebetulnya berlaku juga di pulau Jawa sekalipun.
Mengenai keanekaragaman kondisi antar daerah/sub-wilayah di sana, sudah jelas. Dan, metode pengembangan wilayah memang biasanya diawali dengan identifikasi wilayah, lalu perwilayahan berdasarkan "kesamaan karakter" dan hubungan "keterkaitan dan ketertarikan" antar subwilayah.
Lebih fokus tentang pengembangan UMKM sebagai salah satu fokus pengembangan, terutama terkait dengan produk kayu, kita tahu bahwa potensi SDA kayu disana besar. Tiap hari masyarakat menyaksikan log-log diekspor tanpa mereka sempat menikmati added-value nya.
Kalau bicara potensi SDM, dalam kerajinan, ada tradisi suku Asmat antara lain yang kerajinannya sudah terkenal. Pokoknya tradisi keterampilan itu ada, pada beberapa komunitas, tinggal dikembangkan. Pengembangannya bisa dengan pelatihan, magang ke Jepara, Klaten, Pasuruan, dst. Disamping juga bisa "mengundang" pengrajin asal sentra-sentra yang maju tersebut untuk menularkan keterampilannya ke sentra-sentra kerajinan sejenis di Papua.
Dalam hal transfer knowledge & skill ini banyak lembaga nasional seperti BPPT, Menristek, Deperin, Men KUKM, lembaga-lembaga donor yang bisa diajak membantu.
Bicara UMKM permasalahannya biasanya seputar 6M (man, money, meterial, method, market, management). MATERIAL yaitu potensi raw material yang melimpah. Money - katanya ada alokasi dari Provinsi dan sumber lain. MANusia - menyangkut keterampilan di atas. METHOD - ini terkait teknologi produksi, yang perlu diintrodusir tentang "appropriate technology". Jaman sekarang ada Onno Purbo yang membuat ITC menjadi barang murah dengan teknologi ala "parabola dari wajan". Ada Tri Mumpuni yang membuat kali-kali jadi sumber energi mikrohidro yang ada dimana-mana, tak perlu jaringan tegangan tinggi, kalau memang belum sampai.
MARKET - pada masa kini (new economic geography?) sistem manufaktur banyak yang menganut deassembling, yaitu proses produksi yang dipecah-pecah. Di Pasuruan, mebel yang dibuat mayoritas "setengah jadi", yang dibawa ke kota-kota lain untuk di"furnish". Di China banyak produk diproduksi begitu, bahkan lintas negara (Korea, Taiwan, Vietnam). Jadi secara bertahap para pengrajin di Papua di desa-desa kerajinan/industri kecil dapat membuat komponen-komponen yang sudah bisa mereka buat. Produk tersebut ditampung oleh sentra-sentra yang lebih besar, untuk prosessing selanjutnya. Finishing di situ atau di propinsi lain.
PRASARANA - ini adalah faktor penunjang utama, karena berpengaruh besar dalam supply-chain produksi. Jangka pendek bisa mengandalkan desa-desa pantai yang transportasinya lebih mudah, tak terkendala jaringan jalan yang terbatas. Selama ini DJPR/PU juga punya konsep-konsep "pengembangan Agropolitan" dengan perencanaan jaringan prasarananya. Konsep urban-rural linkage kan masih diterapkan juga dia banyak bidang dan daerah. Bisa dikaitkan dengan program-program dibawah payung PNPM yang punya komponen prasarana desa juga.
Meyakinkan hal seperti ini ke semua pihak, pelaku dan "penonton", memang sulit. Untuk itu perlu lokasi-lokasi yang kondisinya relatif lebih siap untuk dijadikan "percontohan". Sehingga ada contoh sukses untuk bisa direplikasi. [Risfan Munir]
Monday, February 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment