Akibat krisis keuangan global, di Indonesia PHK bisa mencapai 200 ribu orang, kata Kepala Bappenas (Kompas, 6-2-09). Berita lain Malaysia secara bertahap akan memulangkan TKI hingga 2 juta orang.
Angka 200 ribu itu menurut sebagian ahli terlalu kecil, karena hanya yang tercatat. Masih banyak lagi dari usaha mikro atau sektor informal yang menghentikan usahanya karena krisis yang tak tercatat dalam statistik.
Sektor informal yang dianggap katup penyelamat ekonomi masyarakat itu rupanya juga menjadi penyelamat pemerintah karena meringankannya dari tuntutan penyediaan lapangan kerja, atau kegagalan.
Bisa dibayangkan kalau tidak ada sektor informal maka statistik pengangguran bisa berlipat. Dengan adanya sektor informal, maka kalau warga mengasong koran, rokok, permen, jaga sandal di masjid, jadi pak ogah, sudah masuk kategori orang yang bekerja.
Para regional planner bisa bilang dengan urbanisasi maka ekonomi tumbuh, masalah kelebihan penduduk di perdesaan teratasi. Itu di negara maju. Mana mungkin terjadi di negara berkembang yang mengalami deindustrialisasi dari sektor industri yang terbatas itu. Jawabannya adalah karena ada sektor informal yang memberi pekerjaan para migran ke kota itu. Walaupun cuma sebagai penjual makanan keliling, tukang gado-gado, bakso, warung tegal, atau aneka calo di terminal, stasiun atau di jalanan.
Urban planner, perencana tata ruang kota Jakarta , Surabaya, Medan, Makasar bisa bangga dengan jalan utama kotanya diisi deretan gedung megah. Seperti jalan Sudirman, Thamrin, Rasuna Said di Jakata. Kalau melihat deretan sky-line deretan pencakar langit itu terkesan kemakmuran kota, setidaknya karyawan yang kerja disitu. Tapi lihatlah jalan-jalan kecil dibalik itu. Deretan warung tenda, warung dorongan, Sogo jongkok tempat mayoritas karyawan makan dan belanja. Kantor dan gedung megah tak menyediakan tempat makan dengan harga terjangkau. Maka pedagang di sektor informallah penelamatnya. Apakah lokasi berdagang mereka diakui? Itulah soalnya.
Besarnya sektor informal ada menyebut 69,9% dari jumlah pekerja. Statistik lain juga mengatakan 96,2% pekerja pada usaha mikro & kecil, sementara 99,9 % perusahaan adalah mikro dan kecil. Boleh dikata yang disebut usaha mikro itu umumnya ya informal. Mungkin bisa disebut ekonomi rakyat.
Tanpa berdebat soal definisi, bisa dikatakan sektor informal ya usaha/kegiatan ekonomi yang "ada tapi tiada". Artinya ada, exist, sebagai kumpulan diakui sebagai suatu "konsep", kita terlibat sebagai konsumen, bahkan sebagai pelaku "sambilan." Tapi tidak mengakuinya secara formal. Tidak memasukkannya dalam kebijakan pembangunan daerah, tata ruang kota.
Akibat situasi yang "mendua" (ambigu) ini, maka sektor kegiatan yang merupakan mayoritas ini tak masuk dalam "kebijakan" dan program fasilitasi pemerintah. Selalu dikatakan sebagai "katup/dewa penyelamat" ekonomi. Tapi kehadirannya diingkari.
Bagi perbankan dianggap unbankabel. Oleh penata ruang kota dianggap pelanggar land-use. Oleh satpol PP sering di "tertibkan" dan dikejar-kejar, dst.
Bagaimana mereka bisa berdaya, mentas jadi formal kalau kondisinya dibuat "infant" terus. Baru untuk bernafas lega, bisa nabung dikit, sudah "ditertibkan", diporak porandakan asetnya.
Yang diperlukan, barangkali, ialah pengakuan akan kehadiran mereka secara "konsekuen." Kalau dianggap "katup penyelamat", ya terima kehadirannya. Fasilitasi kebutuhannya untuk tumbuh dan mentas. Ibarat kupu-kupu yang kita akui keindahannya, asalnya kan dari ulat yang menjijikkan, menakutkan. Setelah lewat jadi kepompong, akhirnya mereka menjadi kupu-kupu.
Untuk itu pendekatan yang bisa disarankan dua arah, kombinasi "uluran tangan" (top-down) dan pemberdayaan melalui pengorganisasian (bottom-up)melalui pembentukan kelompok-kelompok.
Kita tidak bisa memaksa sarana pelayanan menjangkau penuh seluruh individu sektor informal. Di sisi lain, harus didorong untuk mengorganisir diri untuk membentuk kelompok-kelompok. Untuk memudahkan fasilitasi.
Ada membran atau "lapisan tipis" yang memisahkan sektor formal dengan sektor informal. Diperlukan peran atau aktor yang menjembatani keduanya. Meskipun kita menggunakan istilah "formal vs informal", yang diperlukan bukanlah kebijakan dan sikap yang memisahkannya. Istilah yang digunakan dalam saran World Bank Report 2009: New Economic Geography, agar inclusive dan integrated.
Dalam hal ini dunia usaha justru lebih berhasil. Mereka telah terbiasa menyertakan sektor informal dalam mata rantai pasokan (supply chain) proses produksinya, maupun mata rantai distribusi pasarnya. Mata rantai pemulung dan hirarkhi pengumpul dan para juragannya selalu siap mengumpulkan sampah kertas karton, plastik dari semua kota di pulau Jawa untuk jadi bahan baku recycling industries di Surabaya, Mojokerto, Pandaan dan sekitarnya. Sebaliknya untuk sistem distribusi pemasarannya, berbagai perusahaan consumer goods seperti Unilever, ABC group, perusahaan makanan minuman seperti Indomie, Teh Botol, jamu Sidomuncul, Jago dan sejenisnya, rokok Sampurna, Gudang Garam dan sterusnya, penerbit koran dan majalah seperti Kompas, Tempo dan lainnya, telah biasa menganggap warung-warung di jalan, di pojok, di mulut gang, newstands, pengasong sebagai bagian dari sistem distribusi yang efektif dan signifikan. Terutama untuk mengimbangi dominasi sistem distribusi formal yang didominasi (didikte) distributor besar, hipermarket, supermarket, minimarket yang itu-itu juga.
Semua perencana tahu, ada gap, backlog, antara kebutuhan (sarana, prasarana, pelayanan) dengan jumlah yang bisa disediakan. Pemerintah dan swasta formal dari jaman kolonial hingga 65 tahun Indonesia merdeka belum berhasil menutup gap atau backlog itu. Sektor informal, atau upaya swadaya masyarakat sendiri itulah "katup penyelamat"nya. Tapi seberapa jauh mereka telah masuk dalam pertimbangan kebijakan, alokasi ruang, alokasi anggaran. Ada pesan yang mengatakan, "kalau tak bisa membantu, setidaknya janganlah mempersulitnya."
Mestinya kebijakan Stimulus Fiskal yang sedang diluncurkan juga melibatkan sektor informal sebagai salah satu kelompok sasaran.[Risfan Munir]
Angka 200 ribu itu menurut sebagian ahli terlalu kecil, karena hanya yang tercatat. Masih banyak lagi dari usaha mikro atau sektor informal yang menghentikan usahanya karena krisis yang tak tercatat dalam statistik.
Sektor informal yang dianggap katup penyelamat ekonomi masyarakat itu rupanya juga menjadi penyelamat pemerintah karena meringankannya dari tuntutan penyediaan lapangan kerja, atau kegagalan.
Bisa dibayangkan kalau tidak ada sektor informal maka statistik pengangguran bisa berlipat. Dengan adanya sektor informal, maka kalau warga mengasong koran, rokok, permen, jaga sandal di masjid, jadi pak ogah, sudah masuk kategori orang yang bekerja.
Para regional planner bisa bilang dengan urbanisasi maka ekonomi tumbuh, masalah kelebihan penduduk di perdesaan teratasi. Itu di negara maju. Mana mungkin terjadi di negara berkembang yang mengalami deindustrialisasi dari sektor industri yang terbatas itu. Jawabannya adalah karena ada sektor informal yang memberi pekerjaan para migran ke kota itu. Walaupun cuma sebagai penjual makanan keliling, tukang gado-gado, bakso, warung tegal, atau aneka calo di terminal, stasiun atau di jalanan.
Urban planner, perencana tata ruang kota Jakarta , Surabaya, Medan, Makasar bisa bangga dengan jalan utama kotanya diisi deretan gedung megah. Seperti jalan Sudirman, Thamrin, Rasuna Said di Jakata. Kalau melihat deretan sky-line deretan pencakar langit itu terkesan kemakmuran kota, setidaknya karyawan yang kerja disitu. Tapi lihatlah jalan-jalan kecil dibalik itu. Deretan warung tenda, warung dorongan, Sogo jongkok tempat mayoritas karyawan makan dan belanja. Kantor dan gedung megah tak menyediakan tempat makan dengan harga terjangkau. Maka pedagang di sektor informallah penelamatnya. Apakah lokasi berdagang mereka diakui? Itulah soalnya.
Besarnya sektor informal ada menyebut 69,9% dari jumlah pekerja. Statistik lain juga mengatakan 96,2% pekerja pada usaha mikro & kecil, sementara 99,9 % perusahaan adalah mikro dan kecil. Boleh dikata yang disebut usaha mikro itu umumnya ya informal. Mungkin bisa disebut ekonomi rakyat.
Tanpa berdebat soal definisi, bisa dikatakan sektor informal ya usaha/kegiatan ekonomi yang "ada tapi tiada". Artinya ada, exist, sebagai kumpulan diakui sebagai suatu "konsep", kita terlibat sebagai konsumen, bahkan sebagai pelaku "sambilan." Tapi tidak mengakuinya secara formal. Tidak memasukkannya dalam kebijakan pembangunan daerah, tata ruang kota.
Akibat situasi yang "mendua" (ambigu) ini, maka sektor kegiatan yang merupakan mayoritas ini tak masuk dalam "kebijakan" dan program fasilitasi pemerintah. Selalu dikatakan sebagai "katup/dewa penyelamat" ekonomi. Tapi kehadirannya diingkari.
Bagi perbankan dianggap unbankabel. Oleh penata ruang kota dianggap pelanggar land-use. Oleh satpol PP sering di "tertibkan" dan dikejar-kejar, dst.
Bagaimana mereka bisa berdaya, mentas jadi formal kalau kondisinya dibuat "infant" terus. Baru untuk bernafas lega, bisa nabung dikit, sudah "ditertibkan", diporak porandakan asetnya.
Yang diperlukan, barangkali, ialah pengakuan akan kehadiran mereka secara "konsekuen." Kalau dianggap "katup penyelamat", ya terima kehadirannya. Fasilitasi kebutuhannya untuk tumbuh dan mentas. Ibarat kupu-kupu yang kita akui keindahannya, asalnya kan dari ulat yang menjijikkan, menakutkan. Setelah lewat jadi kepompong, akhirnya mereka menjadi kupu-kupu.
Untuk itu pendekatan yang bisa disarankan dua arah, kombinasi "uluran tangan" (top-down) dan pemberdayaan melalui pengorganisasian (bottom-up)melalui pembentukan kelompok-kelompok.
Kita tidak bisa memaksa sarana pelayanan menjangkau penuh seluruh individu sektor informal. Di sisi lain, harus didorong untuk mengorganisir diri untuk membentuk kelompok-kelompok. Untuk memudahkan fasilitasi.
Ada membran atau "lapisan tipis" yang memisahkan sektor formal dengan sektor informal. Diperlukan peran atau aktor yang menjembatani keduanya. Meskipun kita menggunakan istilah "formal vs informal", yang diperlukan bukanlah kebijakan dan sikap yang memisahkannya. Istilah yang digunakan dalam saran World Bank Report 2009: New Economic Geography, agar inclusive dan integrated.
Dalam hal ini dunia usaha justru lebih berhasil. Mereka telah terbiasa menyertakan sektor informal dalam mata rantai pasokan (supply chain) proses produksinya, maupun mata rantai distribusi pasarnya. Mata rantai pemulung dan hirarkhi pengumpul dan para juragannya selalu siap mengumpulkan sampah kertas karton, plastik dari semua kota di pulau Jawa untuk jadi bahan baku recycling industries di Surabaya, Mojokerto, Pandaan dan sekitarnya. Sebaliknya untuk sistem distribusi pemasarannya, berbagai perusahaan consumer goods seperti Unilever, ABC group, perusahaan makanan minuman seperti Indomie, Teh Botol, jamu Sidomuncul, Jago dan sejenisnya, rokok Sampurna, Gudang Garam dan sterusnya, penerbit koran dan majalah seperti Kompas, Tempo dan lainnya, telah biasa menganggap warung-warung di jalan, di pojok, di mulut gang, newstands, pengasong sebagai bagian dari sistem distribusi yang efektif dan signifikan. Terutama untuk mengimbangi dominasi sistem distribusi formal yang didominasi (didikte) distributor besar, hipermarket, supermarket, minimarket yang itu-itu juga.
Semua perencana tahu, ada gap, backlog, antara kebutuhan (sarana, prasarana, pelayanan) dengan jumlah yang bisa disediakan. Pemerintah dan swasta formal dari jaman kolonial hingga 65 tahun Indonesia merdeka belum berhasil menutup gap atau backlog itu. Sektor informal, atau upaya swadaya masyarakat sendiri itulah "katup penyelamat"nya. Tapi seberapa jauh mereka telah masuk dalam pertimbangan kebijakan, alokasi ruang, alokasi anggaran. Ada pesan yang mengatakan, "kalau tak bisa membantu, setidaknya janganlah mempersulitnya."
Mestinya kebijakan Stimulus Fiskal yang sedang diluncurkan juga melibatkan sektor informal sebagai salah satu kelompok sasaran.[Risfan Munir]
No comments:
Post a Comment