Apakah menaikkan UMK/P memang kebijakan yang tepat? Dengan menaikkan UMK/P kepala daerah menyenangkan buruh, tetapi membuat pengusaha mengerutkan dahi. Persoalannya tepatkah waktunya. Ada kala dimana pengusaha untung lebih, karena prestasi karyawan baik dan kondisi industri serta ekonomi mendukung, sehingga sudah seharusnya karyawan juga ikut menikmatinya.
Namun dalam kasus belakangan, tuntutan kenaikan UMK/P itu lebih didorong oleh meningkatnya biaya hidup, atau inflasi, karena berbagai masalah yang mendera kondisi industri dan ekonomi nasional. Ini yang repot, karena pada saat karyawan kesulitan karena daya beli merosot, perusahaan juga mengalami kesulitan akibat permintaan menurun, sementara biaya-biaya naik.
Dalam situasi seperti ini pemerintah daerah dihadapkan pada pilihan, untuk memenuhi tuntutan buruh, atau mempertimbangkan situasi dunia usaha. Kebijakan yang sekedar populis akan berusaha menyenangkan buruh (pemilih), tetapi bisa menyulitkan pengusaha, dan kalau terdesak mereka akan memindahkan (relokasi) usahanya ke daerah lain atau negara lain.
Untuk diskusi ini, layak disimak pendapat Faisal Basri yang mengingatkan “secara keseluruhan, upah minimum naik itu baik, tetapi perprovinsi itu sulit. Industri di Banten pindah ke Sukabumi yang upah minimumnya lebih rendah, Buruh pabrik itu yang kemudian menjadi korban karena mereka jadi pengangguran” (Kompas, 31-12-2008).
Dalam hal ini sebaiknya Pemda tidak mengeluarkan kebijakan sepihak saja. Kalau toh harus memenuhi tuntutan buruh untuk menaikkan UMK/P, maka sebaiknya diimbangi dengan memberikan kemudahan kepada pengusaha untuk meringankan biaya produksi. Banyak keluhan pengusaha tentang adanya macam-macam pungutan yang resmi dan tak resmi, itu mesti dikurangi. Bisa juga mengambil langkah yang meingankan biaya hidup buruh, seperti menyediakan lahan untuk tempat tinggal buruh, sehingga biaya hidup buruh lebih ringan. Di kota Tengerang, misalnya, pada era 1990 an dahulu, ada kerjasama antara “perusahaan – Pemda – masyarakat” dalam menyediakan ‘pemondokan’ bagi karyawan. Pemda memfasilitasi, masyarakat (mampu) menyewakan lahan, perusahaan yang membiayai pembangunannya. Pemilik tanah menerima uang sewa (murah) dan memiliki bangunannya setelah masa kerjasama berakhir nanti. [Risfan Munir, Local Economic Governance Specialist]
Thursday, January 01, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment