Akhirnya terbaca juga tanggapan Bang Nuzul Achjar atas WB Report: "Reshaping Economic Geography," di TEMPO (18-1-09). Selamat!
Kalau boleh mengapresiasi, dan mencoba mengunyahnya, ada beberapa yang saya tangkap.
Pertama, mengutip Isard, "the world is not flat", ada yang menambahi "there are mountains". Nyatanya landscapenya begitu. Yang penting "inclusive" kesimpulan WB.
Tentu tidak boleh nrimo begitu saja. Inilah tugas regional planning. Mengimbangi side effect dari kebijakan ekonomi makro yang abai terhadap pemerataan antar wilayah.
Diapresiasi juga bahwa pemerintah Indonesia sejak Pelita III (orba) telah mengadopsi kebijakan pengembangan wilayah, berturut-turut dengan berbagai variasi dan versi. Catatan Bang Nuzul tentang kelemahan pendekatan pemerintah selama ini: (1) terlalu supply driven, tanpa memperhatikan skala ekonomis. (RM: artinya kurang melihat demand, pasarnya siapa). (2) dalam penetapan pusat dan perwilayahan, pemerintah kurang mempertimbangkan keunggulan geografis, lebih banyak berdasar bargain politik.
Yang paling menarik bagi saya, Bang Nuzul pengangkat pendapat-pendapat yang menyarankan pentingnya: pengembangan institusi, good-governance, social capital, dan peran kepemimpinan daerah yang punya visi dan INOVASI untuk menerobos kebuntuan penyediaan pelayanan dan infrastuktur dasar.
Baru-baru ini saya baca buku "The Elephant and the Dragon", yang mengisahkan kebangkitan raksasa ekonomi India dan China. Akhirnya devision of labor antar wilayah/negara terjadi. Negara kaya (lama) seperti USA, Eropa Barat jadi pasar, China yang memproduksi barang, India melakukan pekejaan jasa (online, menjawab telpon, ICT lainnya). Itu yang akhirnya mengalihkan banyak pekerjaan ke kedua rksasa baru. Orang di negara maju kalau bukan investor kaya, ya kebagian jadi tukang pipa, tukang potong rambut, tukang taman, yang sifatnya lokal, tak bisa dialihkan ke India atau diproduksi di China. Distance bukan kendala kalau economic of scale bisa nutup ongkos transpor. Bisakah pada skala dalam negeri, daerah-daerah kita mengambil alih berbagai kegiatan ekonomi dari Jakarta atau P. Jawa? Artinya menciptakan skala ekonomi, yang basisnya adalah regional advantage, good-governance, social capital (trust), dan innovative leader seperti catatan Bang Nuzul di atas? Kalau ingat bahwa era otonomi ini juga memunculkan model Fadel, 10 tokoh Tempo itu, dst. Rasanya harapan pemerataan tidaklah berlebihan.
Sekali lagi selamat untuk Bang Nuzul!
[Risfan Munir]
Monday, January 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment