Cara pandang "blue-print" planning, yang menganggap asumsi-asumsi konstan telah menempatkan planner jadi "menyalahkan" diri sendiri. Sebagaimana ungkapan "tiga kegagalan" planning yang dikatakan pembahas terdahulu.
"Blue-print" plan, atau rencana detail ruang yang pasti (deterministic) tentu perlu bagi kawasan baru (new town, transmigrasi). Namun bagi intensifikasi dan pengendalian kota yang tumbuh pesat, itu hampir mustahil. Bisa, kalau law enforcement nya sangat kurat. Tapi apakah efektif dari segi tujuan warganya. Karena kebutuhan hidup warga juga dinamis. Mem"preserve" lingkungan Condet, Menteng, persawahan pinggir kota, demi keindahan dan kehijauan kota tanpa bisa mengkompensasi "opportunity cost" warganya, bisa melanggar HAM. Atau memberi ladang pungli kepada petugas perijinan.
Jangan lupa bahwa terjadinya aglomerasi dan konsentrasi adalah juga akibat kebijakan ekonomi dan politik yang berada diluar kendali planner. Dan justru lingkungan fisik yang baik akan mengundang semakin besarnya arus migrasi ke kota besar (Jabodetabek). Makin 'tertekan' lah para "blue-print" planner. Akhirnya kalau tidak menyalahkan pemda, profesi sendiri, atau escape.
Dengan pola pikir "dash-board" planning, kerangka RUTR diperlukan sebagai road-map tentang arah kemana kemudi diarahkan. Namun di dash-board harus dilihat terus indikator-indikator yang berubah. Perubahan kependudukan (cohort), ekonomi (pertumbuhan, pergeseran), keuangan daerah, tren investasi swasta, politik, bahkan iklim yang ternyata kini mudah berubah, Baik internal maupun eksternal. Dengan demikian rencana detail bukan lagi harga mati. Yang penting norma, prinsip, kriteria perencanaan (lingkungan habitable) tetap dipegang.
Dengan demikian planning bisa menjadi study yang bisa didiskusikan setiap saat, seperti bidang lingkungan, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Planner tidak harus stressful dalam pola pikir "to be or not" yang kalau (pasti) gagal dilaksanakan terus 'mutung', ngambek dan escape. Hanya Tuhan yang bisa bilang 'kun faya kun', jadilah maka jadi seketika.
Sehingga planner juga bisa jadi analis, scenario analis. Seperti ekonom, kalau ada krisis bukan menghujat diri (walau jelas andilnya dalam masalah), tapi menganalisis, berskenario, memberi solusi (sedikit). Masyarakat jadi tahu anatomi masalahnya, lalu diajak berpikir mencari solusinya, lalu bersikap dan bertindak sesuai proporsinya. Tidak seperti sekarang, masing-masing orang melanggar jalur hijau, menyumpal drainase, membuang sampah sembarangan, tapi kalau ada masalah menyalahkan pemerintah daerah.(Risfan Munir, IAP)
Wednesday, March 07, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment