"Banjir lima tahunan," kalau pernyataan itu dilontarkan orang awam wajar, untuk menenteramkan diri. Tapi kalau diucapkan kepala daerah, nekad namanya. Sejauh kita belajar hidrologi dulu, yang ada adalah hujan 5, 10, 25, 50, 100 tahunan, karena itu sistem drainase dirancang ukurannya untuk menampung sesuai ancaman debit air yang melonjak. Kalau dibilang "banjir 5 tahunan" berarti kan Pemda do nothing meghadapi ancaman yang predictable itu.
Di Kompas (20/2/2007) rekan Suryono Herlambang (Untar) menyatakan pentingnya peran serta masyarakat. Ini relevan karena solusi yang dilontarkan pemerintah begitu klasik, project oriented: banjir kanal, rumah susun, lalu megapolitan. Jelas itu penting, tapi "hari gini" masih beraksi sebagai pemain tunggal kok kurang realistis. Seolah penyebabnya adalah semata warga Bogor, Depok yang menghabiskan lahan terbuka hijau, dan warga kampung-kampung sekitar dataran rendah (bukan cuma bantaran kali). Sementara banyak kasus warga mengeluh karena sebelum dibangunnya real-estat A, apartemen B, dulu lingkungannya tidak pernah banjir.
Saran rekan Herlambang relevan, karena yang terjadi juga banyaknya kasus genangan. Banyak lokasi di Jabotabek yang cukup tinggi elevasinya, tidak kena banjir, tapi kena "genangan" hingga 50cm, karena sistem drainase yang buntu, semua warga rame-rame menyemen atau mengaspal halaman rumahnya, dan semua menganggap jalan sebagai saluran buangan. Membuat bak sampah pas diatas riol/got, sehingga selalu luber ke got itu, belum lagi yang memang sengaja membuang sampah ke saluran air itu.
Jadi selain mega proyek banjir kanal, rusun, megacity yang aji mumpung "make use" banjir untuk meng-gol-kan budget nya, perlu juga momentum masyarakat yang masih trauma banjir itu diajak untuk "mulai dari yang kecil, dari diri sendiri, dari saat ini" membuat lubang resapan, diajak kumpul di RT/RW membahas solusi "lokal" soal penyumbatan saluran, dst. Lalu stimulan Pemda diturunkan. Sebar leaflet cara membuat lubang resapan, menghindari bangunan yang membuat saluran sulit dibersihkan dst beberapa tahun lalu saya ikut proyek social marketing tentang pemeliharaan drainase lingkungan, saya kira di PU masih tersedia bahan-bahan yang bisa dibagikan atau cetak ulang.
Sebagai good-practice, babarapa media mengangkat kawasan yang warganya secara kolektif memecahkan masalah periodik ini dan berhasil selamat di musim hujan kali ini. Sebagai contoh Dewan Kelurahan Pluit yang berhasil mengamankan kawasannya dari banjir kali ini karena sebelumnya telah mengantisipasi dengan swadaya membangun rumah pompa air, dan meninggikan bagian rawan, sementara DPRD sibuk protes revisi PP37.
Introspeksi bagi kita semua planner, arsitek, insinyur, pembangun, pejabat (pemda satunya, pemda lainnya), konsultan yang sebetulnya saling kenal, satu guru satu asosiasi, apa tidak bisa kumpul merekonsiliasi peta masing-masing supaya tidak saling bersikap NIMBY (not in my backyard), yang satu meninggikan, membendung, yang lain kebanjiran/tergenang. Risfan Munir, planner.
Tuesday, February 20, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment