Perumpamaan membuat baju ada benarnya. Karena masih banyak yang beranggapan planner sebagai perencana fisik. Dalam hal ini memang terjadi kemuskilan, bisakah kota-kota yang tumbuh, dengan variasi kegiatan di dalamnya, dengan kemampuan warga dan kapasitas pengaturnya ”diramalkan”? Tapi sering juga seperti membuat ”rumah siput,” yaitu merangcang ”ruang” yang seolah fixed, untuk organisme kota yang sangat dinamis.
Ini menarik, karena seorang arsitek atau ahli bangunan, walaupun harus mendesain bangunan secanggih apapun, batasan site (kapling) nya jelas, resources (isi kantong ownernya) jelas, sekali kontrak disepakati, selebihnya hanya soal teknis desain dan manajemen konstruksi saja. Disainer yang lain (desainer kapal, mobil) situasinya sama. Sedikit lebih luas perencana site, real-estate, pelabuhan, perkebunan, yang lahan dan pemiliknya (owner nya) jelas, semua sesuai ”batasan kontrak.”
Tapi planner, merancang sesuatu yang hidup, tumbuh, dinamis, ya warganya, ya kegiatan ekonomi nya, yang policy (kelompok interestnya), ya kapasitas Pemdanya, belum lagi faktor eksternal (ekonomi, politik, sistem pemerintahan, lingkungan, teknologi) pada skala regional atau nasional. Kontrak menyusun rencana ada, tapi pelaksanaan rencana, sudah diluar kendali langsung dari planner. Kalau arsitek, ya merencana, ya jadi mandor pelaksanaan juga (walau kontrak bisa terpisah), kalau perlu ikut mengawasi dari proses belanja material nya. Lha kalau planner, habis merencana, menyerahkan pekerjaan, ya sudah. Dilaksanakan atau tidak ya tanggung-jawab Pemda. Evaluasi baik tidaknya pekerjaan planner, ya dari valid tidaknya proses dan metodologi yang dipakai.
Tapi itu baru kerja konsultan perencana, secara profesi selanjutnya planner yang ada di birokrasi bertugas mengawal dan mengendalikan (police power/law enforcement), dan intervensi langsung melalui pembangunan pasarana, sarana yang ”mengarahkan” (eminent domain), serta lewat mekanisme insentive/dis-insentive. Evaluasi baik/tidaknya adalah seberapa jauh birokrat planner ini dapat mengawal pelaksanaan dan pengendalian.
Jadi kalau perencana sudah melaksanakan proses dan metodologi yang benar, ya sudah bagus. Kalau planner birokrat sudah mengawal dengan tiga instrumen tersebut, ya bagus. Kalau Pemda ternyata tidak bisa mengarahkan, mengawal, mengendalikan dinamika pembangunan fisik sesuai rencana, police power (law enforcement) tidak bisa ditegakkan , ya salah Pemda. Kalau pembangunan prasarana & sarana (sistem jaringan jalan, listrik, air, drainase) tidak bisa dilakukan, ya salah Pemda. Kalau mereka yang mematuhi dan yang melanggar diperlakukan sama, ya salah Pemda. Gitu saja kok repot!
Namun pandangan tersebut ada batasannya: Pertama, itu semua kalau asumsi, analisis dan prediksi yang digunakan sebagai dasar mendesain dan merencana adalah tepat. Ini sangat mungkin untuk kabupaten/kota yang pertumbuhan dan perubahan kegiatan ekonomi dan dinamika penduduknya predictable. Sedang bagi daerah yang pertumbuhan dan perubahan kegiatan ekonomi dan penduduknya berubah cepat, rentan terhadap perubahan situasi eksternal, nampaknya ”model perencanaannya” mesti dicari yang tepat. Kalau urusannya pembangunan fisik, ini tidak saja seperti ”baju”, tapi seperti ”rumah siput” yang sudah jadi, sulit dirubah.
Kedua, kalau sudah tahu kondisi dan kapasitas manajemen Pemda (selalu) terbatas, kenapa planner (sebagai profesi) memilih model perencanaan yang ”seperti arsitek bangunan” itu; kenapa membiarkan Pemda jalan sendiri, tidak mensupport dengan capacity building; kenapa tidak meng-advokasi masyarakat agar menjadi ”spatial watch.”
Dalam draft UUPR yang baru PEMANFAATAN RUANG (pasal 1 butir 14) diartikan sebagai ”upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta biayanya.” Yang terakhir ini menyiratkan seolah pemanfaatan ruang adalah OLEH PEMERINTAH, mungkin maksudnya adalah instrumen intervensi langsung. Tapi yang memanfaatkan ruang mestinya adalah masyarakat (termasuk swasta) dan pemerintah (sektoral).
Kalau kemampuan (anggaran) Pemda untuk intervensi terbatas, kapasitas pengawasan dan pengendaliannya juga terbatas (seperti yang ditulis rekan Fajar), dan mekanisme insentif/disinsentif masih belum jelas (setahu saya penetapan tarif PBB masih belum mau mengakomodir insentif bagi pelestari/penghijau halaman/RTH). Lalu bagaimana? Apakah pelibatan stakeholders termasuk masyarakat, organisasi profesi (termasuk IAP mestinya), pembangun, dst. Bukan suatu keharusan sebagai mitra pemerintah dalam ”pengendalian tata ruang”? Sesuai pasal 57 (1) ”Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.” sesuai asas”...keterbukaan, kebersamaan...,” (pasal 2).
Saya membayangkan, kalau rencana disusun bersama masyarakat, dialog dengan warga,dialog dengan developer, (calon) investor, pencari kerja,pergruan tinggi secara terbuka dari awal (tidak sekedar konsultasi publik). Sehingga terjadi optimalisasi, prioritisasi, bahkan mungkin prasarana dan sarana utama dibangun oleh (kelompok) developer, anggaran Pemda bisa untuk fasilitas publik lainnya. Dan tidak terjadi kaget-kagetan, tekanan membangun ini dan itu, lalu permisif, sulit mengendalikan, dan investasi sebelumnya mubazir.
Tampaknya sudah waktunya menggeser wacana dari aspek (teknik, proses) PERENCANAAN T.R, kapada aspek PEMANFAATAN yang lebih dinamis dan multi-dimensi, walau keduanya memang sulit dipisahkan. Disinilah cara pandang ”dashboard planning” diperlukan. (Risfan Munir, Ikatan Ahli Perencanaan)
Wednesday, March 07, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment