Membaca tulisan BTS saya terkesan, karena seingat saya dulu BTS termasuk yang aktif di NUDS. Sementara saya waktu itu hanya sempat terlibat dalam rangka penulisan tesis S-2 yang (dalam rangka memanfaatkan resources) juga menulis judul yang kurang lebih sama. Hanya untungnya, karena sekolah ya bisa melihat secara 'berjarak', dan mengkaitkannya dengan pergeseran atau pertarungan "development theory" (debate?).
Antara para regional geographer & regional growth (economist) vs development theorist, dari awal memang melihat fenomena dan strategi pengembangan sistem kota-kota secara berbeda. Para planner tampaknya juga tidak satu suara dalam merespons/menindak lanjutinya. Ada yang percaya NUDS, yang langsung mengadopsi sistem kota-kota sebagai hierarkhi "growth poles/centers". Ada yang lebih bias ke development issues, melihat sistem kota-kota sebagai sistem (gurita) kapitalisme yang hanya menyedot kemakmuran wilayah perdesaan, untuk disalurkan ke pusat-pusat lebih tinggi, lalu disetorkan ke pusat-pusat ekonomi dunia (dependency theory).
Bagi mereka yang bias ke perencanaan fisik, tentunya model pertama yang favorit, karena berarti pengerahan sumber daya untuk pembangunan pasarana & sarana ke pada seluruh pusat-pusat sesuai hierarki yang rank-size rule (dengan berbagai variasi tentunya). Keterbatasan pendekatan ini dalam praktek adalah sumber dananya yang sebagian besar dari hutang. Begitu DSCR negara mencekik, maka habislah bensinnya (untuk suatu acara di ITB saya pernah menulis makalah berjudul "Merencana di tengah Jerat Hutang".)
Pendapat BTS tentang keterbatasan kemampuan fiskal daerah jelas valid. Pada waktu bekerja untuk Regional Development Account (RDA), yaitu account untuk menampung repayment pinjaman daerah, saya amati bahwa selain "kemampuan", juga "kemauan" daerah dalam mengembalikan pinjaman daerahnya memang rendah. Alasan klasiknya, itu dulu disuruh pinjam oleh pusat, atau itu warisan rezim lama, sekarang tidak mampu dst. Tapi yang jelas kemampuan fiskal daerah tidak sama, terutama kota-kota(madya) kecil yang terbatas sumber pendapatannya, juga daerah tertinggal.
Berikutnya, pertanyaan BTS tentang SIAPA yang akan disuruh membangun? Ini secara filosofis dapat difahami juga sebagai pertanyaan bagi para planner, yang selama ini jarang membicarakan soal SIAPA nya. Pusat itu siapa, daerah itu siapa. Ini menyangkut Potensi (sumber daya), Posisi (kewenangan), dan Peran (kontribusi, motivasi). Siapa yang masih peduli membangun daerah, kota-kota menengah, daerah tertinggal. Yang pasti adalah DAERAH nya sendiri, mau tidak mau, mampu tidak mampu. Sedangkan dari Pusat, concern yang masih bisa diharapkan dari beberapa instansi/direktorat yang berlabel "regional/daerah/tata-ruang" atau "program pengentasan kemiskinan", namun semua resources-nya sudah serba terbatas, kecuali yang berkaitan dengan kemiskinan.
Sehingga tidak heran pula jika BTS terkesan sangat pesimis dengan "national system of cities" atau "national regional development" umumnya.
Tapi perkembangan belakangan menunjukkan bahwa sebetulnya "daerah" itu kian menunjukkan "keberdayaannya" tanpa "bantuan/binaan" pusat juga. Terbukti dengan Gorontalo yang banyak dibahas sebelumnya. Dengan dorongan seorang putra daerah yang pulang kampung, pemda yang sama, masyarakat yang sama bisa digerakkan untuk membangun daerahnya. Tentu saja sesuai dengan kemampuan dan "kebutuhan" daerahnya. Bukan "kebutuhan" yang didiktekan oleh pusat. Mereka tidak perlu naik kelas dalam urutan rank-size, yang penting tumbuh dan berkembang sesuai kemampuan sumber daya dan kebutuhan masyarakatnya untuk hidup layak, atau "habitable" menurut istilah planner.
Dengan satu Fadel (dan BSP) yang pulang kampung, semangat dan arah pembangunan daerah bisa direvitalisasi. Bagaimana kalau banyak planner yang kembali membangun daerahnya, akan banyak gorontalo-gorontalo yang lain.
Ihwal kota besar, sebetulnya sesuai potensi mereka juga menggeliat mengembangkan dirinya dari dalam, dengan kemampuan pemerintah dan swasta, misalnya Makasar. Kalau kita melihat Makasar saat ini segera saja kita lihat peran SWASTA yang menonjol. Semenanjung Global Trade Center yang menjorok ke laut (menyambung pulau?) itu, jelas dibangun oleh swasta Lippo group (yang biasanya berafiliasi dengan Li Ka Sing, investor properti dan infrastruktur terbesar di Asia). Kota itu juga hometown Eka Tjipta Wijaya, yang jejak BII dan Duta Anggada groupnya menonjol di mal dan berbagai landmark kota. Ada Haji Kala group, Bosowa, Poleko, Maranu dst. mereka juga yang membangun jalan tol di sana. Bahwa Makasar sebagai growth pole kinerjanya tetap segitu, bukanlah soal membangun sarana dan prasarana kota saja mungkin, karena secara administratif di toh hanya ibukota propinsi. Sementara di wilayah timur masih ada Bitung, Sorong yang menjadi pelabuhan ekspor yang kian significat juga. Ini bedanya dengan Jakarta, yang selain historis secara geografis adalah pintu ekspor utama Jawa, dan tentu saja ibukota negara.
Jadi dengan kemampuan fiskal pemerintah yang terbatas pun kota-kota dan daerah bisa membangun sesuai kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Tentunya dalam jangka panjang akan terjadi pola optimalnya. Dan pada gilirannya akan sampai kembali pada pertanyaan: pemerintah (pusat) perlu intervensi dimana? Apakah tetap percaya pada trickle-down effect atau basic need (HDI, MDG)?
Lalu pertanyaan BTS: "membantu daerah tertinggal" atau "masyarakat tertinggal"? Pertanyaan ini muncul saya kira karena desperate nya peran "national urban/regional development" yang sebetulnya "kewenangan"nya terbatas, karena yang menentukan national spatial pattern nyatanya adalah fenomena geografis dan kebijakan ekonomi. Tentu saja pemerintah nasional akan lebih peduli dengan "pertumbuhan ekonomi", menurunnya angka "kemiskinan dan pengangguran". Sedangkan permasalahan spatial (tata ruang) sekarang sudah di"sektor"kan menjadi satu ditjen di PU, satu direktur di Bappenas dan di Bangda/DDN.
Pilihan bagi planner, secara profesi bisa memilih "kembali ke khittah" sebagai "perencana wilayah dan kota". Bermain di skala daerah/kota, tetapi komprehensif (bukan cuma di sektor tata ruang nya saja). Uraian pengalaman BSP bisa jadi acuan bagi peran planner di daerah yang komprehensif. Teman-teman di instansi pusat juga lebih realistis, dengan jadi fasilitator "pembangunan oleh daerah", dengan menyusun dan mensupervise melalui panduan-panduan untuk mendorong pembangunan daerah/kawasan sesuai potensi dan masalahnya. Bias untuk membantu daerah tertinggal tentu penting karena secara politis negara bertanggung-jawab atas masalah dan ekses "regional-inequalities." Risfan Munir, IAP.
Friday, June 15, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment