Saya pikir intinya perencanaan jangka panjang/menengah prinsipnya kan ya strategic planning. Scenario planning kan salah satu style dan pendekatannya. Penyusunan skenario sendiri kan bisa dengan simple tapi partisipatif, bisa juga lebih teknokratis dengan alat system dynamic dsb. Dikaitkan dengan waktu penyusunan-pengesyahan bagi KDH yang cuma 3-6 bulan (RPJMD) tentu pendekatan optimalnya mesti dicari.
Namun lebih dari itu, terhadap perencanaan jangka panjang/menengah sendiri sebagian orang juga antara "percaya/tidak" mengingat di era sekarang ini perubahan di semua aspek sos-ek-bud-pol-tek-lingk hampir tak ada ramalan/ prediksi/ forecast yang tepat. Maka tak berlebihan kalau John Friedman berpendapat "planning as a learning process." Kata orang, ahli ekonometri paling hebat pun sekarang ini daya ramalnya tak lebih dari Mbah Bejo. Sehingga barangkali pendekatan yang lebih sederhana (toh yang rumit juga meleset) tapi bisa difahami banyak pemangku kepentingan lebih tepat, terutama yang membuat mereka juga belajar memahami situasi.
Pak Djarot, pada era 80an, waktu saya masih bekerja di konsultannya sang begawan, saya sering mengikuti pemikiran beberapa profesor ekonomi. Secara konsisten mereka bisa memprediksi situasi ekonomi dari cuaca yang mempengaruhi musim tanam dan panen. Karena dari ramalan panen berarti ramalan akan supply dan demand (daya beli masyarakat). Di luar itu adalah ramalan tentang harga minyak. Juga cuaca/musim dingin di negara maju jadi dasar perkiraan permintaan akan minyak dunia, dan implikasi ke harga minyak dan harga lainnya. Di luar itu perkecualiannya adalah tensi konflik yang memicu perang. Situasi politik nasional waktu itu terbilang stabil. Sehingga soal skenario barangkali waktu itu kurang mendesak, karena banyak hal bisa diforcast.
Kisah Schwartz dalam "the art of long view" (Pak Djarot pasti suka ini) tentang scenario builder diilustrasikan dengan peramal Mesir yang bisa tahu situasi bangsa itu hanya dengan melihat warna air sungai Nil pada bulan tertentu. Kita di jaman sekarang bisa menebak, karena kekeruhan itu mencerminkan curah hujan, atau kekeringan, dan lagi-lagi nasib tanaman, yang mana nasib bangsa itu bergantung. Selanjutnya kesulitan ekonomi akan berimplikasi pada "keresahan" masyarakat, dst. Sehingga raja/menteri bisa dinasehati kapan dan berapa banyak lumbung makanan mesti dibuka. Mungkin sekarang ya program subsidi kali.
Jadi (Pak Djarot), siapkah fenomenologi dijadikan alat menyusun skenario masa
depan?
Karena di beberapa daerah pengusaha jual/beli motor saja bisa jadi peramal "ekonomi daerah". Kalau satu kabupaten panen mereka datang jual motor. Kalau daerah itu petaninya mau tanam, berarti butuh cash, mereka datang untuk membeli motor. Juga rombongan "sirkus atau pasar malam lokal", mereka tahu kabupaten mana layak dikunjungi karena akan panen. Waktu sering ke daerah-daerah dulu, saya juga memperhatikan "warna padi di sawah" daerah yang kita kunjungi, karena "keceriaan" audiens sangat dipengaruhi nasib panen. Wah, jadi sedih karena banyak sawah poso karena banjir. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif, LGSP]
Friday, February 26, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment