Saya kebetulan melewatkan libur kemarin ke Bandung. Tujuan awalnya mau melihat-lihat DiesEmas ITB, tapi karena situasi, bukannya nongkrong di kampus tapi malah lebih banyak nonton macetnya jalan Dago karena padatnya pengunjung
Dengan mengistirahatkan judgment 'spatial planning' sebentar, yang tampak adalah geliat ekonomi kota. FO masih tetap jadi magnet utama. Mudah-mudahan yang dijual memang lebih banyak produk lokal.
Kalau melihat Elizabeth (produk tas), Edward Forrer (sepatu n kulit lokal), Kartika Sari, Evita klapper tart (kue-kue lokal) makin memperbesar dan memformalkan outletnya di Dago, mungkin indikasi bahwa dagangan mereka kian moncer.
Makan siang di Bukit Dago Pakar Timur, sambil melihat panorama Bandung di kejauhan. (Kali ini keprihatinan spatial planning tak dapat dibendung, prihatin melihat bukit-bukit gundul. Tapi bisa apa ya?). Makin banyak saja retoran (Sierra, Neo Calista, berbagai warung kopi termasuk Selasar Sunaryo), dan beberapa hotel (Horizon, Marbella).
Kalau mlihat nomor mobilnya, bisa ditebak, mayoritas leter B. Namun ada trend baru, yaitu makin banyaknya wisatawan mancanegara dari Malaysia. Dengan adanya penerbangan langsung Bandung-Kuala Lumpur, dan jalan tol Cipularang, nampaknya memberikan daya tarik bagi wisatawan negeri jiran itu. Dan, mereka relatif royal dalam berbelanja dan memenuhi hotel.
Bandung, bagaimanapun nampaknya akan tetap mengundang wisatawan. Karena banyak kampus berarti banyak alumni, banyak reuni, nostalgia. Jarakpun sepertinya selalu ditingkatkan aksesnya ke Jakarta, ke Kuala Lumpur dan kota utama lainnya. Namun bagaimana daya dukung lingkungannya? [Risfan Munir]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment