Bicara mengenai landasaan ilmu perencanaan pengembangan wilayah dan kota, saya masih percaya pada buku yang disodorkan pada mahasiswa baru Planologi hingga era 70an, yang menawarkan tiga aspek "Folk-Place-Work". Saya kira ini pula yang digunakan Chapin. Juga Ir. Sutami waktu memperkenalkan Ilmu Wilayah di lingkungan Departeman PU yang dipimpinnya waktu itu, yang kemudian mendorong lahirnya Lembaga Bantuan Teknologi, sebagai cikal bakal banyak LSM bidang teknologi.
Terkait dengan ajakan Sdri. Melly untuk juga mengembangkan praksis perencanaan wilayah dan kota, referensi di bawah ini mungkin menarik.
Baru-baru ini saya baca buku yang ditulis oleh planolog tamatan ITB, Ria Fitriana. "1000 Hari di Bali Barat, sebuah Catatan Proses Belajar Bersama Masyarakat". WWF Indonesia. Nov 2007.
Buku ini mengisahkan pengalaman Ria dalam pendampingan untuk pengelolaan sumber daya alam pesisir, pengembangan ekonomi rakyat, dan pengorganisasian masyarakat di kawasan Bali Barat. Walau tujuan utamanya adalah terkait upaya peletarian Taman Nasional Bali Barat, tapi aspek yang digarap, dan solusi yang dirumuskan komunitas terkait pengembangan ekonomi rakyat dan aspek penguatan kerja sama antar anggota komunitas, dan lintas kelompok dengan pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP). Membaca buku ini seolah menyegarkan ingatan pada doktrin Geddes "Folk-Place-Work".
Buku yang merupakan catatan dan refleksi pengalaman ini dimulai dengan upaya memahami apa yang terjadi, sebagai pendahuluan untuk mengantarkan pembaca pada situasi yang memprihatinkan bagi lingkungan dan kelangsungan hidup, antara lain akibat penggunaan 'potas' untuk menangkap ikan. Dampaknya mengancam kelestarian ikan dan terumbu karang, dan nantinya kehidupan komunitas nelayan sendiri. Jelasnya ada konflik kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Pembahasan selanjutnya mengikuti alur berturut-turut: Memahami Kawasan Bali Barat, Merumuskan Strategi Bersama, mewujudkan tindakan, mengerahkan dan mengembangkan kemampuan, isu keberlanjutan, serta memantau proses dan mengkaji manfaat.
Dibaca sepintas lalu seperti sistematika dokumen penyusunan strategic/ action plan, namun seperti pada judulnya, ini merupakan rekaman proses belajar bersama masyarakat. Ini mengingatkan pada apa yang disebut John Friedman sebagai 'planning as a learning process'.
Pemahaman dan pengumpulan informasi diperoleh melalui kunjungan dan serangkaian diskusi informal bersama masyarakat, bersama kelompok pengaruh dan tentu dengan pengumpulan data sekunder pendukung.
Proses pemetaan masalah dan rencana pengentasan, potensi dan harapan, dan penentuan kelompok sasaran juga dilakukan bersama masyarakat, yang diarahkan untuk mendorong tindakan nyata. Yang terakhir ini bedanya dengan planning umumnya yang berakhir dengan penganggaran pemerintah.
Dalam implementasi action plan itu dilakukan pengerahan dan pengembangan kemampuan masyarakat, sehingga mereka lebih berdaya secara ekonomi, sosial, dan kesadaran akan pelestarian lingkungan.
Yang menarik dari buku ini, karena bahasanya menggunakan bahasa cerita realita dan proses yang terjadi di tingkat komunitas. Penulis juga menggunakan kata saya, sehingga kesannya bercerita. Maka menjadi bahasa yang hidup, bebas dari sekat bahasa teknis ekonomi, sosial, tata ruang. Folk-Place-Work digarap sebagai satu kesatuan utuh, tidak dipisah-pisah. Tidak juga anti ekonomi, anti sosial, atau anti fisik.
Apakah buku ini mewakili genre baru dari planning sebagaimana diantisipasi oleh Friedman sebagai 'planning as a learning process' itu? Entahlah. Tapi seperti ajakan untuk mengembangkan praxis Planning, maka buku sejenis ini adalah tepat sebagai acuan. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif"]
Saturday, January 19, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment