Saya setuju dengan ajakan mengembangkan praksis yang anda ajukan. Saya kira harusnya memang begitu. Ada konsep, diterapkan, lakukan refleksi, ada pengembangan/ modifikasi/ pendalaman konsep, dst. Saya hanya mengingatkan, dalam diskusi atau praktek mesti disadari kita sedang main di level mana. Kalau lagi praktis, ya praktis. Kalau lagi kontemplasi, mereview yang praktis, ngecharge ke basis theory, bahkan lebih dalam (atau lebih tinggi) ke basis filsafat, ya kesana.
Menurut saya seperti kita belajar ilmu fisika, ada rumus yang diyakini tapi disederhanakan untuk level SMA, level S-1 (praktisi), lalu ada level S-3 yang meriset ulang, menggugat teori atau konsep yang ada. Namun saat aplikasi di pabrik ya yang praktis saja. Kalau rumusnya Newton, atau rumus menghitung diameter kabel itu diperdebatkan di depan teknisi ya kacau. Menurut saya itu salahnya para pemikir agama (ahli filsafat agama) yang memperdebatkan filsafat tuhan dan keimanan di publik awam, yang seharusnya jadi subject seminar S-3 saja. Ya, ini pemisalan yang saya ekstrem-kan. Tapi pada orang/kelompok yang sama pun mesti ada kejelasan saat ini kita bicara di level mana. Saat di lapangan saya kadang ketemu aktivis LSM yang bicara retorika landasan negara, atau sosialisme di kelompok petani, menutut saya kok ya aneh, orang sedang ngomong pentingnya gotong-royong meluruskan parit kok diajak menyerang ideologi ekonomi negara.
Eh, kejuahan ya nglanturnya..... Anyway, saya setuju dengan anda untuk mengembangkan praksis perencanaan tata ruang atau yang lebih netral perencanaan pengembangan wilayah dan kota.
Kedua, soal term 'spatial capital'. Istilah ini saya kira tidak ada di kamus planning. Tapi diskusi itu diawali dengan istilah 'social capital'. Memang social capital sendiri ada yang mengkritik sebagai ekonomisasi dari aspek sosial. Yang seharusnya masing-masing aspek punya tujuannya sendiri. Sehingga 'spatial capital', tentu saja sulit menghindar dari persepsi ekonomi. Konotasinya tentu mengarah ke 'land-value', 'land-price'. Sebagaimana bicara lingkungan, kalau suatu hamparan kita sebut 'lingkungan hidup' atau habitat, konotasinya ke pelestarian lingkungan dst. Tapi kalau hamparan itu disebut sumber daya alam, ya konotasinya langsung ke ekonomi.
Tapi apakah term ekonomi itu sendiri buruk? apakah term sosial itu lebih mulia? lalu spatial lebih gagah, macho? Sehingga ada statement bahwa 'ekonomi' itu produk import, sedang yang asli Indonesia adalah yang “mulia-mulia” (?). Apa bangsa ini tidak butuh makan? Saya kok punya pendapat salah satu sebab bangsa kita korup adalah tradisi feodal kita mengharamkan bicara ekonomi. Ekonomi atau dana dibutuhkan oleh para feodal, tapi dianggap ‘urusan belakang’, tidak layak dibicarakan. Sehingga yang terjadi para istri berupaya sana-sini cari dana, dagang atau pungut ini-itu, untuk kemuliaan kedudukan suaminya di masyarakat (sorry pendapat pribadi).
Eh, nglantur lagi ya….
Mesti disadari juga, bahwa Planning, kalau toh bukan ilmu adalah teori atau konsep yang ada tujuan, lingkup, komponen, struktur dan prosesnya. Planning bukan konsep yang bisa "ngarang sendiri" atau "eklektika" alias gado-gado. Konsistensi dan daya prediksi tentu dituntut oleh public. Lha kalau tidak konsisten, tidak punya daya prediksi, kalau diterapkan tidak ada jaminan (deduktif, induktif) akan menghasilkan suatu tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat, ya konsep "rencana suka-suka" namanya itu. Kalau itu untuk merencana kebun sendiri OK saja. Tapi kalau untuk publik, ya jangan bereksperimen dengan publik sebagai korban.
Untuk itu menemukan ‘konsistensi’ dan ‘daya prediksi’ itu, mulai dari saat sebagai mahasiswa, pengajar, konsultan, fasilitator, penulis, saya selalu mencoba menggali argumentasi atau penjelasan yang kurang lebih mendekati ‘konsistensi’ dan punya ‘daya prediksi’ itu. Kalau merekomendasikan tindakan ini, outputnya itu, outcome nya itu, dan impactnya nanti kesana. Sejauh yang bisa saya pikir, yang bisa saya tulis dan praktekkan, rasanya ‘argumentasi ekonomi’ kok lebih kena bagi saya. Dan rasanya misi penciptaan lapangan kerja, meningkatkan keunggulan daerah, pengentasan kemiskinan, itu misi yang valid.
Memang kalau menekuni planning ini kan ada yang bias ke aspek-aspek visual. Tapi aspek visual buat saya pribadi tidak kuat. Selain soal artis design yang subyektif, menjelaskan manfaatnya ke publik sangat sulit. Mendesign site kan tidak seperti mendesain patung atau taman. Kecuali bisa meyakinkan Gubernur/Walikota/Bupati, DPRD, dst.
Pendekatan anthropologis, kebetulan bagi saya juga sulit, karena harus empiris, spesifik. Tidak selalu kita punya resources untuk mendampingi komunitas. Tapi kalau resourcenya mendukung, sebetulnya ini ideal, karena ujungnya kan memberdayakan, membuat masyarakat menemukan potensi dan solusi nya sendiri, bisa mengurangi ketergantungan.
Argumentasi spatial, yang murni fisik, menurut saya ampuh untuk merencana ”kawasan non-budi daya”, juga zonasi berbasis daya dukung lahan, buffer-zone, bantaran sungai. Dengan mengandalkan analisis geologi teknik, jenis tanah, topografi, vegetasi, curah hujan, faktor iklim dan faktor fisik lokal lainnya. Saya kira semua planner menguasai tekniknya, apalagi setelah ada aplikasi2 GIS untuk memetakan land-suitability.
Tapi kalau sudah menyangkut merencanakan ”kawasan budi-daya”, kawasan terbangun, lingkungan kota, ini pertimbangan dan argumentasinya sudah bukan fisik lagi. Karena secara fisik syarat untuk perumahan dan perdagangan kan sama (misalnya). Argumentasinya menjadi serba relatif, tergantung kepentingan. Dan lagi-lagi disini argumentasi ekonomi (bagi yang pro vs yang kontra, yang diuntungkan (+) vs dirugikan (-)) oleh RUTR akan menjadi bahasa yang lebih common. Aksesibilitas adalah bahasa teori lokasi (ekonomi), juga trade-off, opportunity cost, land value, apalagi land price.
Juga sistem kota-kota, lepas dari setuju atau tidak, dasarnya adalah teori lokasi (ekonomi) dan geografi ekonomi. Losch, Chritaller, Brian Berry semua argumentasinya geografi ekonomi. Juga Pak Poernomosidhi, argumentasi SWP dan sistem kota-kota nya juga pada fungsi (ekonomi) kota dan sistem jaringan koleksi/distribusi barang. Lalu derivat nya seperti NUDS, P3KT jelas argumentasinya juga mempromosikan kota-kota sebagai simpul-simpul koleksi/distribusi, pusat-pusat pertumbuhan (ekonomi). Juga pengembangan transmigrasi, basisnya adalah penyediaan lapangan kerja (Nakertrans), pemerataan penduduk dan optmalisasi pendaya-gunaan sumber daya alam nasional. Konsepnya juga (dari bawah) pengembangan SP (satuan permukiman) yang self-subsistence, lalu penguatan basis produksi SKP (satuan kawasan permukiman), untuk berlanjut ke integrasi dengan SKP lainnya membentuk satuan wilayah lebih luas, ya daerah itu sendiri. Back-bone nya ekonomi, yang lain mengikutinya.
Argumentasi ekonomi itu untungnya sudah jadi common language. Kalau kita mau menggoalkan program kan mesti pakai bahasa yang dipahami umum. Kecuali soal bencana alam, misalnya. Kalau argumentasi lingkungan hidup dan sosial-budaya, biasanya akan perlu diucapkan oleh pakar atau tokoh karismatis, atau dengan ”pressure” lewat media atau massa di lapangan. Sedang otoritas pejabat biasanya lemah kalau atasannya beda pendapat, apalagi di era saat ini antar instansi sering beda pendapat.
Saya menyadari argumentasi ekonomi memang tidak ideal. Karena itu saya salut dengan planner seperti Ria Fitriani, misalnya, yang menerapkan pendekatan ”utuh” (sosial-fisik-ekonomi) dalam kerja pendampingan di lapangan untuk pelastarian kawasan pesisir Bali Barat, sebagaimana ditulis dalam bukunya ”1000 hari di Bali Barat”. Kesan saya, saya tuliskan pada posting berikutnya. [Risfan Munir, penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif."]
Saturday, January 19, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
bekas area tpa leuwigajah dipaksakan direfungsi kembali. masyarakat mendorong konsep pembangunan bukan hanya kotak tpa. tetapi kawasan. karena alasan keuangan pemerintah tetep maksakan hanya bicara kotak tpa, tidak mau bicara pembangunan kawasan. padahal dipaksakannya leuwigajah karena pemerintah ingin berhemat bensin. jadi ingin untung tetapi tidak mau berkorban. konsep anda bagus untuk didorong ke sana.
Post a Comment