Lahan pekotaan jumlah atau luasnya relatif terbatas, sedangkan
permintaan potensial meningkat terus. Akibatnya harga cenderung naik.
Harga terus naik itu telah menjadi asumsi umum di masyarakat dan
di'teguh'kan pengembang. Padahal di sisi permintaan tiap saat bisa
saja menurun, karena menurunnya daya beli. Income warga yang bisa
disisihkan (disposable) menurun. Ini bisa karena inflasi, atau naiknya
harga rumah, naiknya suku bunga, dst.
Permasalahan bisa timbul jika para pengembang terus 'meniupkan' iklan
secara berlebihan, ditunjang dengan sektor perbankan dan keuangan yang
juga mendorong penyerapan kredit (KPR, konstruksi) yang sedang
overliquid. Akibatnya, pasar atau konsumen dibujuk secara berlebihan,
bahkan sampai syarat penerima kredit juga dilonggarkan secara kurang
hati-hati. Akibat selanjutnya, potensi kredit macet tinggi. Kondisi
bubble economy ini bisa membahayakan sektor keuangan dan ekonomi
secara keseluruhan.
Di negara maju seperti USA, kecenderungan tak wajar tersebut bisa
tidak segera dirasakan masyarakat karena disana tiap KPR (mortgage)
dijaminkan kepada lembaga keuangan sekunder, yang juga 'menjualnya' ke
pasar hutang. Dengan kondisi bubble yang kian membengkak tanpa
kontrol, akhirnya besarnya kredit KPR yang macet kian tak
tertangguhkan. Maka terjadilah tragedi subprime mortgage yang
gelombang ikutannya (tsunami) akhirnya merontokkan raksasa keuangan
dan mengguncang sistem keuangan pada umumnya.
Kembali ke pangkal soal, yaitu karena penilaian dan pricing yang tak
wajar atas tanah perkotaan. Serta asumsi bahwa permintaan riil selalu
naik. Ini juga mengingatkan bahwa jika sektor riil lainnya sulit
bergerak (karena berbagai kendala) maka sektor keuangan cenderung
menggelontorkan likuiditasnya ke sektor (real) property. Hal terakhir
ini dapat dibuktikan dengan tren aktifnya kelompok bank yang terjun di
sektor (real) property.(Risfan Munir)
No comments:
Post a Comment