Kota tanpa warga
Melanjutkan obrolan sejarah, ada berita bagus, minggu lalu di Gramed saya nemu buku baru Jo Santoso, (Menyiasati) Kota tanpa warga, terbitan Gramed (KPG) dan Centropolis Untar.
Sejarah kota Surabaya sebagai satu kasus diulas cukup lengkap (Bab 5 dari 6 bab). Dari perluasan built-up-area sejak era Majapahit hingga kini, peristiwa2 politik, masuknya pengaruh teknologi transportasi (mobil, trem) yang tentunya cukup revolusioner untuk masa sesudahnya. Asyik karena dilengkapi denah,dan foto2 terutama dari era kolonial, heroism kota pahlawaUnsur, termasuk icon Sukarno yang pernah di HBS dan nyantrik di rumah HOS Cokroaminoto.
Rasanya kalau dibaca mundur dari bab terakhir ke depan ini seperti buku sejarah kota2, mulai dari pra sejarahselain Surabaya ada Banten. Dari kampung atau desa yang "utuh", menuju prahara metropolis yang disebut kota "tanpa warga" itu.
Namun kalau dibaca dari depan alurnya seperti cerita Agatha Christy, banyak pertanyaan2 muncul di kepala kita. Dan clue dari apa itu "kota tanpa warga" baru terbuka dari halaman 215 (dari 239 halaman).
Proses mengkota (urbanisasi) nampaknya memang perjalanan abadi. Upaya menata ruang yang liveable, yang memungkinkan warganya bersosialiasi baru berhasil sebagian di tingkat kuarter (kampung), belum pada tingkat kota. Di banyak kampung, lingkungan, warga (kota) sudah mulai guyub, sebagian karena sejarah kampung-kampung kita tumbuh karena ikatan etnis, asal daerah. Di tingkat kota, disaggregasi masih jadi masalah. Perkelahian antar kampung masih kambuhan, juga sentimen etnis masih latent.
Salah satu sebab yang diulas, karena minimnya ruang publik di perkotaan. Sementara ruang publik yang ada, didoninasi oleh kepentingan bisnis dan penguasa. Belum lagi mengkota, prahara globalisasi dengan segala kekuatannya sudah menimpa kota tanpa warga itu.
Tapi bukan perencana namanya kalau tidak mencoba memberi solusi. Ada tiga strategi yang ditawarkan menyongsong pengembangan kota yang berkelanjutan.
Membaca buku ini rasanya mengajak napak tilas perjalanan kita sebagai perencana/arsitek, yang katanya punya misi mengembangkan liveability, habitability, yang kadang optimis, kadang kecewa, kadang setia, kadang berdalih (Risfan Munir)
Wednesday, January 03, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment